Perkara Pinjam-meminjam
slam sebagai agama yang syamil wa mutakammil (menyeluruh dan sempurna) mengatur segala aspek kehidupan, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia antar sesama. Yang diejawantahkan oleh para ulama dalam pembahasan fiqih mumalah.
Salah satu bentuk interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah kegiatan pinjam-meminjam. Kegiatan yang sering dilakukan dalam keseharian hampir semua orang. Di saat setiap orang tidak selalu memiliki semua barang untuk memenuhi kebutuhannya, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan meminjamnya dari orang lain.
Apa saja ketentuan-ketentuan syariah yang berkaitan dengan kegiatan pinjam-meminjam? Apa saja hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh peminjam maupun pemilik barang?
A. Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan.
Dalam istilah ilmu fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan dua definisi yang berbeda. Ulama hanafiyyah[1]dan malikiyyah[2] mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:
تمليك منفعة مؤقتة بلا عوض
“Menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa imbalan.”
Sedangkan ulama Syafi’iyyah[3], Hanbilah[4] dan Zahiriyyah[5], mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:
إباحة الانتفاع بما يحل الانتفاع به مع يقاء عينه بلا عوض
“Izin menggunakan barang yang halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan wujudnya tanpa disertai imbalan.”
Masing-masing dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi hukum yang berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah adalah penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu artinya, peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan atau menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik barang. sebab dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut.
Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah memandang bahwa ‘ariyah hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.
B. Hukum Taklifi
‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada kondisi yang menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika peminjam (musta’ir) merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang (mu’ir). Ditambah, peminjam tidak menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang makruh.
Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan darurat sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca dingin ada orang yang telanjang, atau hanya memakai pakaian seadanya sehingga merasakan kedinginan. Maka, jika ada orang yang bisa meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena orang tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak dipinjami baju.
Menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, pinjam-meminjam hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada seorang kafir.[6]
‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang dilarang. Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau meminjamkan kendaraan untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.
C. Syarat Barang Pinjaman
Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi dua syarat berikut:
Pertama, barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau menghabiskannya. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan sebagainya. Meminjamkan barang yang habis pakai disebut dengan qardh.
Kedua, barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan.
D. Hak dan Kewajiban Peminjam
Ketika seseorang meminjam barang sedangkan pemiliknya tidak memberikan batasan-batasan atau ketentuan tertentu dalam pemakaiannya, maka peminjam boleh memakai barang tersebut untuk keperluan apa pun yang dibenarkan secara ‘urf (kebiasaan). Dengan kata lain, peminjam bebas menggunakannya untuk tujuan apa pun selama penggunaannya masih dalam batas kewajaran. Hal ini senada dengan kaidah fiqih[7]:
المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً
“Sesuatu yang dianggap sebagai kebiasaan kedudukannya seperti syarat.”
Contohnya, seseorang meminjam mobil sedan kepada temannya. Selama temannya itu tidak memberikan batasan atau ketentuan pemakaian, si peminjam boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun, selama itu dianggap sebagai pemakaian wajar. Contohnya dipakai untuk jalan-jalan, mengantar teman dan lain-lain.
Tetapi peminjam tidak boleh menggunakan mobil tersebut untuk mengangkut beras misalnya, atau mengangkut hewan qurban. Karena, secara ‘urf hal tersebut sudah keluar dari batas kewajaran.
Jika pemilik barang memberikan syarat atau batasan-batasan tertentu dalam pemakaian barangnya, maka peminjam harus patuh terhadap syarat tersebut. Jika tidak, si peminjam dianggap sebagai ghasib. Contohnya, pemilik mobil hanya memperbolehkan mobilnya dipakai di dalam kota, atau hanya siang hari, atau selama dua hari dan lain sebagainya. Maka peminjam tidak boleh menyelisihi apa yang disyaratkan oleh pemilik barang.
E. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman
Kapankah pemilik boleh mengambil kembali barangnya yang dipinjam? Apakah boleh mengambil sewaktu-waktu, atau hanya boleh mengambil pada waktu yang sudah disepakati? Dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat.
1. Pendapat Pertama
Ulama dari kalangan Hanafiyyah[8], Syafi’iyyah[9], Hanabilah[10] dan Zhahiriyyah[11] memandang bahwa pemilik barang boleh meminta barangnya dari peminjam kapan pun dia mau. Dengan syarat tidak menimbulkan mudarat bagi si peminjam.
2. Pendapat Kedua
Sedangkan Malikiyyah[12] berpendapat, pemilik barang tidak boleh meminta barangnya kecuali setelah jangka waktu yang telah disepakati. Atau setelah jangka waktu yang sewajarnya, jika tidak ada ketentuan berapa lama batas waktu peminjaman dari pemilik barang. Atau setelah barang pinjaman tersebut selesai digunakan untuk keperluan peminjam.
Malikiyyah mendasari pendapatnya ini dengan perintah untuk melaksanakan akad atau perjanjian yang telah disepakati, sebagaimana tertuang dalam surat al-Maidah ayat 1 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”
Juga atas dasar sabda Nabi Muhammad ﷺ:
المسلمون عند شروطهم
“Muslim itu terikat dengan syarat-syarat (yang disepakati di antara mereka).”[13]
F. Barang Pinjaman Rusak, Apakah Peminjam Wajib Mengganti?
Dalam kitab-kitab fiqih, para ulama mengaitkan masalah ini ke dalam pembahasan tentang status peminjam dalam kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah) apakah sebagai yad amanah atau yad dhaman.
Yad amanah adalah pihak yang berstatus hanya sebagai pemegang amanah dari pihak lain. Di mana jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada amanah yang dipegangnya, dia terlepas dari tanggung jawab untuk mengganti selama hal tersebut tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya.
Sedangkan yad dhaman adalah pihak yang berstatus sebagai penjamin terhadap barang milik orang lain. Di mana jika terjadi kerusakan atau kehilangan –apa pun alasannya– dia bertanggung jawab atas barang tersebut.
Dalam kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah), para ulama berbeda pendapat, apakah peminjam berlaku sebagai yad amanah atau yad dhaman.
1. Hanafiyyah, Riwayat Marjuh dari Imam Ahmad & Zahiriyyah
Kelompok pertama yang diwakili oleh ulama dari kalangan Hanafiyyah[14], Zahiriyyah[15] dan riwayat marjuh dari Imam Ahmad[16] berpandangan bahwa peminjam berlaku sebagai yad amanah.
Sehingga, jika terjadi sesuatu pada barang pinjaman, peminjam tidak berkewajiban untuk mengganti barang tersebut. Selama tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya sendiri atau peminjam menolak untuk mengembalikan ketika diminta oleh pemilik barang.
Landasan pendapat ini adalah hadis riwayat ad-Daruquthni[17]:
ليس على المستعير غير المغل ضمان
“Peminjam yang tidak berkhianat tidak wajib menjamin/menanggung kerusakan (barang pinjaman).”
Juga secara logis, Malikiyyah berpendapat bahwa peminjam sudah mendapatkan izin yang sah untuk menggunakan barang pinjaman dari pemiliknya, sehingga peminjam tidak berkewajiban untuk menanggung kerusakan atau kehilangan yang tidak disebabkan oleh kesalahan peminjam. Sebab pada umumnya setiap barang itu akan mengalami kerusakan jika dipakai berulang-ulang.
2. Syafi’iyyah dan Pendapat Rajih dari Imam Ahmad
Sedangkan kelompok kedua yang diwakili oleh ulama Syafi’iyyah[18] dan pendapat rajih dari Imam Ahmad[19]memandang bahwa peminjam berlaku sebagai yad dhaman. Itu artinya, peminjam wajib bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada barang pinjaman dalam kondisi apa pun. Tidak peduli apakah disebabkan oleh kelalaiannya atau bukan.
Dalil pendapat kedua ini adalah hadis berikut ini[20]:
عن أمية بن صفوان، عن أبيه – رضي الله عنه – : أن النبي -صلى الله عليه وسلم- استعار منه أدراعه يوم حنين ، فقال : أغصبا يا محمد؟ قال \”بل عارية مضمونة \”
“Dari Umayyah bin Shafwan, dari ayahnya r.a bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ meminjam tameng darinya pada waktu perang Hunain, kemudian ia berkata, “Apakah engkau mengambilnya begitu saja wahai Muhammad?”, Nabi berkata, “Tidak, melainkan ini menjadi pinjaman yang dijamin (kembali).”
Dalam hadis di atas Nabi menyatakan bahwa pinjaman itu dijamin oleh beliau, sehingga dipahami bahwa menjamin barang pinjaman merupakan sifat dasar dari ‘ariyah (pinjam-meminjam).
3. Malikiyyah
Ulama Malikiyyah[21] membedakan jenis barang yang dipinjam. Jika barang pinjaman itu berupa barang yang bisa disembunyikan (ما يغاب عليه) seperti pakaian dan perhiasan, maka peminjam wajib menjamin segala bentuk kerusakan atau kehilangan kecuali jika dia bisa menghadirkan bukti bahwa kerusakan itu bukan akibat kesalahannya.
Sedangkan jika barang pinjaman berupa barang yang tampak dan tidak bisa disembunyikan seperti rumah atau kios, maka peminjam tidak berkewajiban untuk menanggung kerusakan atau kehilangan. Kecuali jika ada bukti yang menyatakan bahwa kerusakan itu adalah akibat dari kesalahannya.
Rusak Karena Pemakaian wajar
Yang perlu digarisbawahi ketika membahas penyebab kerusakan barang pinjaman yang menentukan apakah peminjam wajib mengganti atau tidak, adalah bahwa jika kerusakan barang itu terjadi karena pemakaian normal, semua ulama sepakat[22] bahwa peminjam tidak wajib mengganti.
Sebab izin pemilik kepada peminjam untuk menggunakan barangnya, berarti juga mengizinkan terjadinya kerusakan akibat pemakaian wajar terhadap barang tersebut.
G. Hukum Menyewakan Barang Pinjaman Tanpa Izin Pemilik Barang
Bolehkah peminjam menyewakan barang pinjaman kepada orang lain? Para ulama dalam hal ini terbagi ke dalam dua pendapat.
1. Pendapat Pertama
Hanafiyyah[23], Syafi’iyyah[24] dan Hanabilah[25] berpendapat tidak boleh peminjam menyewakan barang pinjaman yang ada padanya kepada orang lain tanpa izin dari pemilik barang. Hal tersebut untuk menjaga hak pemilik barang agar bisa menarik barangnya sewaktu-waktu. Sebab dengan disewakan kepada orang lain, barang tersebut tidak bisa ditarik kecuali setelah selesai masa penyewaannya.
Di samping itu, pada umumnya, pemilik barang ketika meminjamkan barangnya kepada orang lain, izin untuk menggunakan barang itu hanya ditujukan bagi si peminjam semata, tidak untuk orang lain.
2. Pendapat Kedua
Sedangkan ulama Malikiyyah[26] membolehkan peminjam menyewakan barang pinjaman kepada orang lain meskipun tanpa seizin dari pemilik barang.
Hal tersebut berdasarkan pemahaman mereka bahwa ‘ariyah itu adalah penyerahan kepemilikan manfaat suatu benda (تمليك المنفعة). Sehingga, selama kepemilikan itu berada di tangan peminjam, dia boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun termasuk untuk disewakan kepada orang lain.
Di samping itu, menurut Malikiyyah, pemilik barang hanya boleh menarik barang yang dipinjam pada saat jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan di awal. Sehingga tidak masalah barang itu disewakan selama belum jatuh tempo.
H. Hukum Meminjamkan Emas
Para ulama sepakat[27], boleh hukumnya meminjamkan emas jika digunakan untuk perhiasan, atau untuk tujuan pameran dan lain sebagainya. Selama emas tersebut tidak digunakan sebagai alat tukar yang habis pakai.
Namun, jika emas tersebut dipakai sebagai alat tukar sehingga emas tersebut tidak lagi berwujud emas yang sama dengan pada saat dipinjam. Maka itu termasuk qardh.
[1] As-sarakhsi, Al-Mabsuth, hal. 133/11, Ibnu al-Humam, Takmilah Syarh Fath al-Qadir, hal. 464/7.
[2] Ibnu Juzai, Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, hal. 320, Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shaghir, hal. 570/3.
[3] Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj, hal. 263/2.
[4] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hal. 220/5.
[5] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hal. 164/9.
[6] Lihat: al-Lubab, hal. 201/2, Hasyiyah al-Syarqawi, hal. 91/2.
[7] Lihat: As-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 90, Ibnu Najim, Al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 99.
[8] Lihat: Bada’i al-Shana’i, hal. 217/6, Tabyin al-Haqaiq, hal. 84/5.
[9] Lihat: Asna al-Mathalib, hal. 331/2, Mughni al-Muhtaj, hal. 270/2.
[10] Lihat: Al-Mughni, hal. 229/5, Al-Kafi, hal. 273/2.
[11] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hal. 168/9.
[12] Lihat: Bidayah al-Mujtahid, hal. 313/1.
[13] Diriwayatkan oleh Abu Daud, No. hadis: 3594, Ibnu al-Jarud, Al-Muntaqa, 637-638, Ibnu Hibban, No. 1199, al-Daruquthni, 27/3, dari hadits Abu Hurairah.
[14] Lihat: Al-Hidayah ma’a Takmilah Syarh Fath al-Qadir, hal. 468/7, Majma’ al-Anhur, hal. 348/2.
[15] Ibnu Hazm, al-Muhalla, hal. 169/9.
[16] Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’, hal. 365/5, Al-Mughni, hal. 341/7.
[17] Sunan al-Daruquthni, hal. 41/3, hadits ini di-dha’if-kan oleh Al-Daruquthni sendiri juga oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab at-Talkhish, hal. 97/3.
[18] Lihat: Al-Hawi, 118/7, Syarh Raudhah at-Thalib, 328/2.
[19] Lihat: Ibnu Muflih, Al-Furu’, 474/4
[20] Musnad Ahmad, No. 27636, Sunan Abi Daud, No. 3562, Sunan al-Daruquthni, No. 2955.
[21] Lihat: Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi, 407, Bidayah al-Mujtahid, 403/2, al-Qawanin al-Fiqhiyyah, 320, al-Syarh al-Shaghir, 41-42/5.
[22] Lihat: Al-Hawi, 394/8, Raudhah at-Thalibin, 432/4, Mughni al-Muhtaj, 267/2, Al-Mughni, 165/5.
[23] Lihat: Al-Durr al-Mukhtar, 503/4.
[24] Lihat: Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, 127/7.
[25] Lihat: Asy-Syarh al-Kabir, 180/3, Al-Mughni, 247/7.
[26] Lihat: Syarh az-Zarqani ‘ala Mukhtashsar Khalil, 127/6.
[27] Lihat: Al-Mabsuth, 15/18, al-Bada’i, 207/7, asy-Syarh al-Shaghir, 40/5, Raudhah al-Thalibin, 426-427/4, Takmilah Fath al-Qadir, 296/6, Al-Lubab, 78/2.