Bolehkah kita memikirkan Zat Allah?. Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kata pahami secara mendalam terlebih dahulu. Dalam Kitab al-Arba\’in an-Nawawiyah, Imam Nawawi telah menyebutkan satu Hadis yaitu Hadits ke 30 dari kitab tersebut yang bunyinya sebagai berikut :
عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ جُرثُومِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ قَالَ: «إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلَا تَعْتَدُوهَا وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا» حِدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ.
Dari Abu Tsa’labah al-Khusyanni Jurtsum bin Nasyir radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ bersabda “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban maka jangan engkau menyepelekannya, dan Dia telah menentukan batasan-batasan maka jangan engkau melanggarnya, dan Dia telah pula mengharamkan beberapa hal maka jangan engkau jatuh ke dalamnya, dan Dia juga mendiamkan beberapa hal–karena belas kasihnya kepada kalian bukannya lupa, maka jangan engkau membahasnya.”((Hadits hasan, HR. ad-Daruquthni dan lainnya))
Dari hadis tersebut penulis hanya ingin membahas sedikit tentang potongan hadis
وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا
Artinya: “Dia juga mendiamkan beberapa hal, karena belas kasihnya kepada kalian bukannya lupa, maka jangan engkau membahasnya.
Pada potongan Hadist ini, Syekh Hijazi al-Fasyni telah membuat syarahan di dalam kitabnya al-Majalisu as-saniyah yang bahwa perkara-perkara yang Allah diam dari perkara tersebut bukan karena Allah lupa maka perkara tersebut dilarang untuk membahasnya, karena membahas tentang perkara tersebut menjadi sebab diturunkannya penekanan hukum baik itu wajib atau haram.
Bahkan sangat banyak orang-orang yang binasa karna membahas perkara tersebut. Ibnu Mas\’ud pernah berkata: “Jauhilah dari membahas dan memperdalam serta berdiskusi tentang sesuatu yang tidak bermanfaat dari perkara gaib yang mana kita diperintahkan untuk mengimaninya serta tidak dijelaskan kriterianya, karena membuatmu bingung dan ragu juga membuat seseorang berdusta”.
Sehingga Ibnu Ishaq juga berkata: “janganlah memikirkan tentang zatnya Sang Khaliq (pencipta), dan makhluk dengan sesuatu yang tidak pernah didengar, sebagai contoh Firman Allah ﷻ :
وَإِن مِّن شَیۡءٍ إِلَّا یُسَبِّحُ بِحَمۡدِهِۦ
Artinya: “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, (QS. Al-Isra: 44).
Dari Firman ini menimbulkan pertanyaan,” Bagaimana bisa benda mati bertasbih?” Karena firmannya Allah ﷻ demikian, maka Allah ﷻ bisa saja membuat benda mati tersebut bertasbih dengan cara yang Allah kehendaki.
Terdapat satu Hadits di dalam kitab Shahihain yang menguatkan tentang haramnya memikirkan Zatnya sang Khaliq (pencipta), seperti Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari: Setan mendatangi kalian kemudian bertanya “Siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan ini?, Siapa yang menciptakan Tuhanmu? Maka ketika setan telah sampai ke pertanyaannya ini yang terakhir, idealnya hendaklah seseorang berlindung kepada Allah dan menyudahinya.
Dan dalam Hadits Muslim: Manusia senantiasa bertanya sehingga mengatakan, “Allah kan menciptakan makhluk, maka Siapa yang menciptakan Allah?” Maka siapa saja yang mendapatkan pertanyaan seperti ini, hendaklah berkata “aku beriman dengan Allah”.
Karna demikian, berpikirlah wahai saudaraku tentang ciptaannya Allah dan jangan sekali kali berpikir tentang zatnya Allah ﷻ. Karena berpikir tentang ciptaannya Allah merupakan bagian dari qurubat (perbuatan mendekatkan diri kepada Allah) yang paling besar. Rasulullah ﷺ bersabda “berpikirlah tentang makhluk Allah dan jangan kalian berpikir tentang Allah karena kalian tidak akan sanggup sedangkan aku sanggup.”
Hasan berkata: berpikir sebentar lebih baik dari pada mendirikan malam. Ibrahim bin Adham berkata: berpikir merupakan ziarah akal.
Memikirkan zat Allah, sesungguhnya tidak akan sampai pada penghujung pemikiran manusia. Karena Allah adalah zat yang paling sempurna.
Referensi: Majalisus Saniyyah, hal 92-93