Pada artikel yang saya tulis di bawah ini akan membahas Bab Air, sehubungan air adalah alat untuk melakukan Thoharoh (bersuci) di dalam Islam. Air jenis apa saja yang bisa digunakan untuk bersuci, dan air jenis apa yg tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Ada perbedaan pendapat di dalamnya, oleh karena itu akan saya kupas semua perbedaan pendapat yang ada.
Tujuannya adalah agar kita bisa saling memahami dan memaklumi adanya perbedaan pendapat tersebut, yang pada akhirnya bisa tetap menjaga ukhwah antar sesame muslim dan mebuang segala bentuk sinisme serta permusuhan yang bisa mengakibatkan hilangnya rasa persaudaraan kita.
Keep ukhuwah, kick permusuhan antar sesama muslim..
Macam-macam air :
Air Mutlak
Adalah air yang suci, tidak tercampur apapun di dalamnya, sehingga bisa digunakan untuk mensucikan. Seluruh ulama sepakat, bahwa air mutlak bisa digunakan untuk bersuci. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Apa saja yang disebut air mutlak ini..?
a. Air hujan, salju atau es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Taala:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.(Al-Anfal: 11)
Dan firman-Nya:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Dan Kami turunkan dan langit air yang suci lagi mensucikan. (Al-Furqan:48)
Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah katanya:
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول:
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah membaca takbir di dalam sholat diam sejenak sebelum membaca Al-Fatihah, maka saya tanyakan: Demi kedua orangtuaku wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang Anda baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca Al-Fatihah? Rasulullah pun menjawab:
للَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ
Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau inenjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah bersihkanlah daku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dan kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dan kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun. (HR. Al-Bukhari no. 744 dan Muslim no. 1353)
b. Air laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah katanya:
سأل رجل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إنا نركب البحر وتحمل معنا القليل من الماء أفنتوضأ بماء البحر فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم
Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah, katanya: Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhuk, akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah. kami berwudhuk dengan air laut? Berkatalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Laut itu airnya suci lagi mensucikan, dan bangkainya halal dimakan. (Diriwayatkan Malik dalam Al-Muwatho’ (1/22) Syafi’i dalam Al-Umm (1/16) Ahmad (2/237,361, 392) Abu Daud (83) Tirmidzi (69) Nasa’i (59) Ibnu Majah (386) Darimi (735) Ibnu Huzaimah (111) Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo’ (43) Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (505))
Berkata Turmudzi: Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al-Bukhari tentang hadits ini, jawabnya ialah: Hadits itu shahih.
c. Air telaga, sumur dan sejenisnya karena apa yang diriwayatkan dan Ali : Artinya:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا بِسِجِلٍّ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأَ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta seember penuh dan air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya buat berwudhuk. (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya (I/76))
Atau hadits :
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةٍ وَهِيَ بِئْرُ يُطْرَحُ فِيْهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلاَبِ وَالنَّتْنُ
Dari Abu Said Al-Khudry berkata: Rosululloh pernah ditanya: Bolehkan kita bewudhu dari air Budho’ah yaitu sumur yang padanya terdapat kain darah haidh, kotoran dan daging anjing?
فَقَالَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
Maka bersabdalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : Air itu suci lagi mensucikan, tak satu pun yang akan menajisinya. (Ahmad dalam Musnadnya (3/15, 31, 86) Abu Daud (96) Tirmidzi (66) Nasa’i (324) Daruqutni (1/30-32)).
Hadits tersebut disebut hadits Bi’ru Bidho’ah (Telaga Bidho’ah).
d. Air yang berobah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang dapat disebut air secara mutlak tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman Allah Taala:
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); (Al-Maidah: 6)
Air Musta’mal
Air musta’mal adalah air yang sudah dipakai/digunakan. Perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama terjadi saat menentukan apakah air musta’mal itu suci dan mensucikan ataukah suci tetapi tidak mensucikan (muthohhir).
Dan perbedaan ini terjadi dikarenakan sudut pandang yang berbeda mengenai dalil yang ada, dan dalil tersebut juga sama2 shahih. Jadi, tidak perlu diperdebatkan dan diperuncing masalah perbedaan yang ada, yang penting sekarang adalah, menyikapi perbedaan yang ada dengan sikap yang arif, seperti para Imam Madzhab yg muktabar terdahulu menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka.
Perbedaan pendapat (khilafiyah) yang ada mengenai “Air Musta’mal” adalah sebagai berikut :
a. Pendapat Yang Mengatakan Air Musta’mal adalah suci Tetapi Tidak Mensucikan.
Dalil yang digunakan oleh ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا
Dari seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita (istri) mandi dengan air bekas mandi laki-laki (suami), atau laki-laki (suami) mandi dengan air bekas mandi wanita (istri), dan hendaknya mereka berdua menciduk air bersama-sama.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa-i, dan sanad-sanadnya shahih)
Dalil di atas dengan jelas menggambarkan bahwa air bekas digunakan dilarang untuk digunakan bersuci.
لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
“Janganlah seseorang dari kalian mandi di air yang diam (tidak mengalir), sedang ia dalam keadaan junub.”(HR. Muslim no. 283).
Ketika orang2 menanyakan : “Wahai Abu Hurairoh, lantas bagaimana ia harus berbuat,”. Beliau menjawab : “Dengan menciduk”.
Dari hadits di atas dapat diambil pengertian, bahwa mandi mencebur dalam air dapat menghilangkan sifat mensucikannya air itu sendiri.
b. Pendapat Yang Mengatakan Air Musta’mal adalah Suci dan Mensucikan.
Dalil yang digunakan oleh ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dengan air bekas mandinya Maimunah radiyallahu ‘anha. (HR. Muslim no. 323).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى جَفْنَةٍ فَجَاءَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا – أَوْ يَغْتَسِلَ – فَقَالَتْ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى كُنْتُ جُنُبًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الْمَاءَ لاَ يَجْنُبُ ».
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi di satu wadah besar. Lalu datang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengambil air dari sisa mandi istrinya, atau beliau berkeinginan untuk mandi. Maka salah satu istrinya berkata, “Wahai Rasulullah, aku tadi junub (dan itu sisa mandiku, pen). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: Sesungguhnya air itu tidak terpengaruh oleh junub.” (HR. Abu Daud no. 68, Tirmidzi no. 65, dan Ibnu Majah no. 370)
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.” (HR. Bukhari no. 193)
Hadits-hadits tersebut menerangkan tentang bolehnya menggunakan air musta’mal untuk bersuci. Bagaimana hubungannya dengan hadits larangan mandi di air yang tidak mengalir dan hadits larangan mandi air bekas mandi sebelumnya..?!
Untuk melakukan kompromi atas hadits-hadits tersebut di atas, maka ulama yang mendukung pendapat air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci mengatakan bahwa “larangan” pada hadits yg berbicara tentang larangan mandi menggunakan air bekas mandi di atas adalah larangan tanzih (makruh), tidak sampai hukum “haram”. Karena hadits-hadits di atas mengenai larangan dan kebolehannya untuk bersuci sama-sama shahih, maka harus dikompromikan.
Berarti mandi dengan air bekas mandi sebaiknya tidak dilakukan jika masih bisa ditemukan air yang jauh lebih bersih. Tetapi, jika kondisi tidak memungkinkan, maka air bekas boleh digunakan untuk bersuci dan bisa mensucikan. Menurut ilmu kedokteran/kesehatan pun hal ini dilarang.
Selain itu larangan tersebut juga mengandung hikmah di dalamnya, yaitu kebersihan lebih diutamakan dalam melakukan thoharoh (bersuci).
Hadits-hadits lain yang dianggap mendukung pendapat “air musta’mal” bisa digunakan untuk bersuci” adalah sebagai berikut :
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”( HR. Abu Daud no. 130, hadits hasan, yang menerangkan tentang cara wudhu’ Rasulullah)
Abu Juhaifah menceritakan:
وَرَأَيْتُ بِلَالًا أَخْرَجَ وَضُوءًا فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُونَ ذَلِكَ الْوَضُوءَ فَمَنْ أَصَابَ مِنْهُ شَيْئًا تَمَسَّحَ بِهِ وَمَنْ لَمْ يُصِبْ مِنْهُ أَخَذَ مِنْ بَلَلِ يَدِ صَاحِبِهِ
“Aku melihat Bilal mengeluarkan air wudhu’, lalu aku melihat orang-orang bersegera mendatangi air wudhu’ tersebut. Maka siapa yang mendapat sedikit darinya, ia pun berwudhu’ dengannya, dan sesiapa yang tidak mendapatnya maka mereka mengambil air tersebut dari basahan tangan sahabatnya yang lain.” (Hadis Riwayat Muslim no. 778)
Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap (anggota wudhu).” (HR. Bukhari no. 187)
Imam Ibnu al-Mundzir rahimahullah ulama dari madzhab Asy-Syafi’i menyatakan:
وروى عن علي وابن عمر وأبي امامه وعطاء والحسن ومكحول والنخعي انهم قالوا فيمن نسى مسح رأسه فوجد في لحيته بللا يكفيه مسحه بذلك البلل: قال ابن المنذر وهذا يدل على أنهم يرون المستعمل مطهرا قال وبه أقول
Diriwayatkan daripada ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, ‘Atha’, al-Hasan, Makhul, dan an-Nakha’i, bahawasannya mereka berkata:
“Sesiapa yang lupa membasuh kepalanya (ketika berwudhu’) kemudian ia mendapati ada air yang membasahi janggutnya, maka cukuplah ia membasuh kepalanya dengan air tersebut.” Beliau (Ibnu al-Mundzir) berkata lagi:
“Ini menunjukkan bahwa mereka menetapkan air musta’mal itu adalah menyucikan. Dan dengan pendapat inilah aku berpegang.” (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 1/153)
Sebagai tambahan tentang air musta’mal bisa disimak dari hadits tentang adab-adab wudhu yang diajarkan Utsman bin Affan, dari Humran maula Ustman bahwa dia melihat Utsman meminta air wudhu:
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضي اللهُ عنهما : أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ , فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إنَائِهِ , فَغَسَلَهُمَا ثَلاثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْوَضُوءِ , ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاثاً , وَيَدَيْهِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاثًا , ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ , ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلاثًا , ثُمَّ قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ، وَقَالَ : مَنْ تَوَضّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا , ثُم صَلَّى رَكْعَتَيْنِ , لا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Lalu dia menuangkan air dari bejana ke kedua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu lalu berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). Kemudian dia mencuci wajahnya tiga kali lalu kedua tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya lalu mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian setelah selesai dia (Utsman) berkata, “Saya melihat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- berwudhu seperti wudhu yang saya lakukan ini.” (Bukhori no.159,Muslim no.423).
Menurut hadits di atas, cara wudhu Rasulullah adalah memasukkan tangan ke dalam bejana, yang menurut keterangan isi bejana tersebut 1 mud saja, kemungkinan besar air bekas wudhu beliau masuk ke dalam bejana tersebut mengikuti tangan beliau yang masuk lagi ke dalam bejana. Bukan dengan cara air dialirkan, tetapi tangan beliau masuk lagi ke dalam bejana.
Karena saat memasukkan tangan itu air bekas wudhu bisa lagi masuk ke dalam bejana, maka air dalam bejana tersebut bisa disebut air musta’mal. Ternyata air tersebut bisa digunakan untuk berwudhu.
Air Yang Bercampur Dengan Barang Yang Suci
Hukumnya suci dan bisa digunakan untuk bersuci, berdasarkan dalil :
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الأَنْصَارِيَّةِ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ تُوُفِّيَتْ اِبْنَتُهُ فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِيْ الآخِِرَةِ كَافُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ
Dari Ummu ‘Athiyyah Al-‘Anshoriyyah berkata: Rosululloh pernah masuk pada kami ketika putrinya meninggal dunia seraya bersabda: Bersihkanlah tiga kali atau lima kali atau lebih bila kalian memandang perlu dengan air dan daun bidara. Dan campurlah basuhan terakhir dengan kafur (minyak wangi). (HR. Bukhori no.1258 dan Muslim no.939).
عَنْ أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ اغْتَسَلَ هُوَ وَمَيْمُوْنَةُ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِيْ قَصْعَةٍ فِيْهَا أَثَرُ الْعَجِيْنِ
Dari Ummu Hani’ berkata: “Saya melihat rasululloh pernah mandi bersama Maimunah dari satu bejana yang tercampur tepung. (HR. Ibnu Khuzaimah (240), Nasa’i (240), Ibnu Majah (378) Ibnu Hibban (227-Mawarid) dan Ahmad (6/342)
Air Yang Bercampur Najis
Ada dua pendapat sehubungan dengan air yang bercampur dengan najis ini.
1.Pendapat yang mengatakan bahwa : air menjadi najis karena tercampuri najis jika air itu sedikit, walaupun tidak merubah bau, rasa, atau warna air tersebut. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.
Masalah jumlah air yang sedikit tersebut, berapa batasannya..?! ada dua pendapat juga mengenai batasan jumlah air tersebut.
Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.
Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah. Ini sesuai hadits :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)
Dalam riwayat lain disebutkan,
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah” dan Ad Darimi)
Hadits tersebut memang ada yang memandang hadits mudhthorib (simpang siur/kacau) dari sisi sanad (perawi) maupun matan (materi). Tetapi ada pula yang mengatakan shahih. Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa : jika air tidak merubah bau, rasa, atau warnanya, maka air tersebut tidak najis (suci).
Ini adalah pula pendapat dan Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnul Musaiyab, Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhahiri, Nakhai, Malik dan lain-lain.
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi :
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
“Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.” (HR. Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)
Dari hadits di atas, bisa diambil kesimpulan, bahwa air yang sedikit tetapi bisa menghilangkan bau, rasa dan warnanya, maka air tersebut bisa mensucikan.
Atau hadits :
وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
Dalam riwayat Al Baihaqi, “Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya.” (Baihaqi dalam Sunan Kubro (1/260) Daruqutni dalam Sunannya (1/28-29))
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya.” Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim.
Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan “Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya” telah ada dasarnya di hadits bi’ru bidho’ah.
Dalil-dalil tersebut menerangkan yang menjadikannya najis adalah jika air telah berubah bau, rasa atau warnanya oleh najis. jika tidak merubahnya maka air tersebut tetap suci.
________________________________________________________________
Setelah kita mengetahui jalan pengambilan pendapat (istinbath) para ulama di atas, maka kita akan mengetahui bahwa perbedaan yang ada itu muncul dari perbedaan sudut pandang para Imam Madzhab atas dalil yang ada. Selama dalil tersebut adalah shahih, maka tidak masalah perbedaan itu terjadi. Dan di atas telah disajikan bagaimana perbedaan yang ada ternyata masing-masing pihak juga sama-sama mengambil dari dalil yang shahih.
Jadi, jangan lagi kita mempermasalahkan perbedaan (khilafiyah) yang ada. Tetapi marilah kita mulai memperbaiki cara pandang kita terhadap perbedaan yang ada.
Dari cara pandang yang sinis dan tidak suka terhadap pendapat yang berbeda dengan kita, menjadi cara pandang yang bijaksana yang diliputi kasih sayang dan kecintaan terhadap sesama muslim.