Jika seorang laki-laki ahli menikahi wanita muslimah, maka sudah tak diragukan lagi keharamannya. Ulama sepakat bahwa wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir dalam segala variannya, baik ahli kitab maupun non ahli kitab.
Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
{وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا} [البقرة: 221]
Dan kalian jangan menikahkan laki-laki musyrik sampai mereka beriman.
Meskipun ayat ini turun tentang larangan menikahkan anak perempuan muslimah kepada laki-laki musyrik, tetapi keharaman juga kepada laki-laki ahli kitab. Ini adalah kesepakatan para ulama.((Abu Bakar al-Baihaqi (w. 458 H), Ahkam al-Qur’an li as-Syafii, (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1414 H), juz 1, 189))
Permasalahannya adalah jika seorang laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab, bagaimana hukumnya?
a. Perbedaan Pendapat Ulama
Para fuqaha dari berbagai mazhab – di antaranya adalah mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad – telah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab (kitabiyyah), yaitu perempuan beragama Yahudi dan Nashrani.((Lihat: Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/369; Wahbah Al Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 9/145). Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 4/73; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 7/143;))
Hal itu sesuai firman Allah SWT :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
”(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS Al Maa`idah [5] : 5).
Dalam kalangan Hanafiyyah, as-Syarakhsi (w. 483 H) dalam kitabnya al-Mabsuth menjelaskan:
وَلَا بَأْسَ بِأَنْ يَتَزَوَّجَ الْمُسْلِمُ الْحُرَّةَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ… سَوَاءٌ إسْرَائِيلِيَّةً كَانَتْ أَوْ غَيْرَ إسْرَائِيلِيَّة
Tidak apa-apa seorang laki-laki muslim yang merderka menikahi wanita ahli kitab… baik dari Bani Israil maupun tidak itu sama saja.((Muhammad bin Ahmad Syamsul Aimmah as-Syarakhsi al-Hanafi (w. 483 H), al-Mabsuth, (Baerut: Dar al-Ma’rifa, 1414 H), juz 4, hal. 210))
Dalam mazhab Maliki, menikahi wanita ahli kitab yang merdeka atau bukan budak itu boleh dengan status makruh. Sebagaimana pernyataan dari al-Qarafi (w. 684 H):
الْكفَّار ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ الْكِتَابِيُّونَ يَحِلُّ نِكَاحُ نِسَائِهِمْ وَضَرْبُ الْجِزْيَةِ عَلَيْهِمْ وَإِنْ كَرِهَهُ فِي الْكِتَابِ لِسُوءِ تَرْبِيَةِ الْوَلَدِ
Orang kafir itu ada 3 jenis; pertama adalah kitabiyyun. Mereka halal dinikahi wanitanya dan diminta pajak, meskipun menikahi wanita ahli kitab itu makruh, karena jelek dalam pendidikan anaknya.((Qarafi Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad al-Malikiy (w. 684 H), adz-Dzakhirah, (Baerut: Dar al-Gharb, 1994), juz 4, hal. 322))
Dalam mazhab Syafi’i, menikahi wanita ahli kitab itu boleh dengan status makruh, baik harbiy (memerangi umat Islam) maupun dzimmiy (dijamin keamanannya oleh umat Islam). Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyatakan:
يحرم نكاح من لا كتاب لها كوثنية ومجوسية. وتحل كتابية لكن تكره حربية وكذا ذمية على الصحيح
Haram menikahi wanita yang tak punya kitab (samawi) seperti watsaniyyah dan majusiyyah. Sedangkan wanita ahli kitab itu halal dinikahi tetapi makruh, baik wanita harbiy, maupun dzimmiy menurut pendapat yang shahih.((Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), Minhaj at-Thalibin, (Baerut: Dar al-Fikr, 1425 H), hal. 212))
Ibnu Qudamah (w. 620 H) dalam mazhab Hanbali menyebutkan:
مَسْأَلَةٌ؛ قَالَ: (وَحَرَائِرُ نِسَاء أَهْلِ الْكِتَابِ وَذَبَائِحُهُمْ حَلَالٌ لِلْمُسْلِمِينَ) لَيْسَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، بِحَمْدِ اللَّهِ، اخْتِلَافٌ فِي حِلِّ حَرَائِرِ نِسَاءِ أَهْلِ الْكِتَابِ
Wanita yang merdeka dari ahli kitab dan sembelihan mereka itu halal untuk kaum muslimin, diantara para ahli ilmu tak ada perbedaan dalam hal ini.((Ibnu Qudamah Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad al-Hanbali (w. 620 H), al-Mughni, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1388 H), juz 7, hal. 129))
b. Syarat Ahli Kitab Versi Imam Syafi\’i
Hanya saja, meskipun Imam Syafi’i –rahimahullah– termasuk yang membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, beliau membuat syarat (taqyiid), yaitu perempuan Ahli Kitab tersebut haruslah perempuan Bani Israil.
Jika dia bukan perempuan Bani Israil, misalnya perempuan Arab tapi menganut Yahudi atau Nashrani, maka dia tidak termasuk Ahli Kitab sehingga haram hukumnya bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.((Imam Al Baihaqi, Ahkamul Qur`an, (Beirut : Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, t.t), juz 1, hal. 187,))
Imam Syafii (w. 204 H) sendiri menyebutkan:
فَلَمْ يَجُزْ وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ أَنْ يَنْكِحَ نِسَاءَ أَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ غَيْرَ بَنِي إسْرَائِيلَ دَانَ دِينَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى بِحَالٍ… فَمَنْ كَانَ مِنْ بَنِي إسْرَائِيلَ يَدِينُ دِينَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى نُكِحَ نِسَاؤُهُ وَأُكِلَتْ ذَبِيحَتُهُ
Allah tidak memperbolehkan (Allah yang Maha Tahu) seseorang muslim menikahi wanita ahli kitab dari Arab maupun Ajam kecuali dari Bani Israil yang beragama yahudi dan nashrani… Siapa yang berasal dari Bani Israil dan beragama yahudi maupun nashrani, maka perempuannya boleh dinikahi dan sembelihannya halal dimakan.
Pendapat Imam Syafi’i tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama madzhab Syafi’i seperti Imam Al-Khathib Asy-Syirbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj (3/187) dan Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ (2/44).
Dikatakan, bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Bani Israil dihalalkan, karena berarti perempuan itu adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrif).
Sedang perempuan Ahli Kitab yang bukan keturunan Bani Israil, haram dinikahi karena mereka adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya sudah tidak asli lagi atau sudah mengalami perubahan (tahrif), kecuali jika mereka menjauhi apa-apa yang sudah diubah dari kitab mereka.((Wahbah Al Zuhaili, al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 147))