Ulama Fiqih sepakat bahwa berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar. Ulama dari kalangan madzhab Syafi\’i berpendapat bahwa sepasang suami istri yang melakukannya dikenai denda masing-masing 1 dinar jika hubungan itu dilakukan pada masa awal haid, atau 1/5 dinar jika dilakukan di pertengahan-akhir haid.
Pendapat diatas didukung oleh ulama dari madzhab Hanafi. Hanya saja, madzhab Hanafi berpendapat bahwa denda tersebut hanya diwajibkan atas suami saja, dan tidak pada istri. Karena larangan itu ditujukan pada suami saja.
Pendapat-pendapat di atas berdasarkan pada hadits berikut:
إذا وقع الرجل أهله وهى حائض إن كان دما أحمر فدينار وان كان اصفر فنصف دينار
\”Seorang laki-laki menjima\’ istrinya yang sedang haid, apabila itu dilakukan saat darah haid istrinya berwarna merah maka dikenai denda 1 dinar, sedangkan jika dilakukan saat darahnya sudah berwarna kekuningan, maka dendanya 1/5 dinar.\” (HR. Tirmidzi)
Sedangkan ulama dari madzhab Hambali mengatakan bahwa keduanya (suami-istri) dikenai denda masing-masing setengah dinar, tanpa membedakan apakah itu dilakukan di awal, pertengahan atau di akhir masa haid.
Madzhab Maliki berpendapat tidak ada denda apapun dalam perbuatan itu, baik atas si suami atau si istri.
Apakah Dengan Membayar Denda, Lalu Dosa Terhapus?
Belum tentu. Berhubungan suami istri saat istri sedang haid adalah perbuatan dosa besar. Selama keduanya tidak bertaubat pada Allah, maka dosa tersebut akan tetap melekat pada diri mereka.
Yang harus dilakukan oleh keduanya tidak cukup hanya membayar denda sebagaimana tertulis di atas. Namun, juga harus disertai taubat yang melibatkan 3 hal:
– meminta ampun pada Allah,
– menyesali perbuatan dengan sebenar-benarnya,
– dan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.
Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dari perbuatan dosa, dan semoga Allah memberi ampunan bagi orang-orang yang bertaubat. Amin.
Wallahu A\’lam Bishshawab.